Thursday, 12 September 2013

Jejak Sejarah Indonesia Yang Tersimpan Di Majalah Tempo

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/id/thumb/3/3c/SampulMajalahTempo.jpg/200px-SampulMajalahTempo.jpg 


Mega Ditinggal Suami. DITAHUN 1961 sebuah kapal Rl Matjan Tutul dalam Operasi Mandala (Trikora) telah tenggelam dilaut Aru. Turut hilang djuga Komandan Skuadron Yos Sudarso. Sedjak saat itu, dan beberapa tahun kemudian, isterinja, Njonja Yos Sudarso selalu berpendapat bahwa suaminja sedang pergi bertugas. Demikian djuga dengan Njonja Megawati Sukarno Surindro, 24 tahun, hingga saat ini tetap berpendapat bahwa Mas Patjul — begitu LU I Penerbang Surindra Supjarso, 28 tahun biasa dipanggil, masih bertugas di Irian Barat. Lima tahun terachir ini, kemalangan Megawati datangnja bertubi-tubi. Ajahnja dari puntjak kursi kekuasaan harus turun ketingkat paling bawah, ditahun 1966. Tahun jang lalu, Sukarno meninggal. Tahun ini, Gadis, demikian panggilannja sehari-hari, ditinggal suaminja. Surindro berikut tudjuh orang awak pesawat Skyvan T-71, hingga kini belum diketahui nasibnja. Hanja reruntuhan-reruntuhan pesawat sepotong demi sepotong dapat diketemukan. Megawati, 3 tahun jang lalu hilang dari keramaian Djakarta, dan turut suaminja ke Madiun. “Dia sih njonja rumah bener”, demikian adiknja Rahmawati pernah memberi komentar. Rizki Pratomo, anak Mega dan Surindro jang pertarma, tidak tahu, nasib apa jang sedang menimpa orang tuanja. Sedang ibunja, kini sedang hamil tua. Anak mereka jang kedua diperkirakan akan lahir dibulan April nanti.

Berita diatas adalah salah satu catatan yang sekarang menjadi sejarah yang dimuat dalam majalah Tempo edisi perdana 01/01, tanggal 6 Maret 1971. Majalah Tempo merupakan salah satu contoh majalah berita mingguan lahir di era 70-an yang tumbuh dan berkembang pesat serta relatif minim pesaing, setelah wafatnya majalah Ekspress.
Dua kali sudah majalah ini dibredel oleh penguasa yang tak berkenan dengan pemberitaannya, tahun 1982 dan 1994. Belum lagi tuntutan-tuntutan perdata puluhan miliar rupiah dari orang-orang yang dibongkar belangnya oleh majalah yang terbit pertama kali pada Maret 1971 itu,- termasuk kasus gugatan Rp 1.000.000.000 miliar dan 2 miliar dolar AS-. Toh, majalah yang dipimpin oleh Goenawan Mohammad itu tetap eksis hingga sekarang.(ref)
JERMAN PUNYA KAPAL, TEMPO KETIBAN BREDEL
TEMPO kembali tahun 1998 , setelah empat tahun dibungkam. Reaksi yang begitu keras dari khalayak ramai, ketika 21 Juni 1994 majalah ini, bersama DeTik dan Editor, dilarang terbit oleh yang berkuasa. Pertama kali dalam sejarah pers Indonesia, para pemuda, aktivis, juga wartawan, turun ke jalan di beberapa kota menentang pembredelan. Protes juga datang dari luar negeri. Bahkan, sebuah pesantren tua di pedalaman Madura mengadakan istigazah, doa prihatin bersama, satu bulan setelah apa yang dilakukan pemerintahan Soeharto bulan Juni itu.
Pada 26 Juni 1994 malam, hanya lima hari setelah TEMPO dibredel, direktur utama perusahaan yang menerbitkan majalah itu, Eric Samola, diundang untuk bertemu dengan Hasyim Djojohadikusumo, pengusaha, di Lagoon Tower Hotel Hilton, Jakarta. Hasyim, saudara kandung Prabowo Subianto? menantu Presiden yang kemudian menjadi komandan pasukan khusus yang empat tahun kemudian menculik dan menyiksa sejumlah aktivis (di antaranya kini masih hilang)–memberi tawaran: TEMPO bisa terbit kembali bila ia dan “keluarga” diberi hak mengangkat dan memberhentikan redaksi, dan bila ia dan “keluarga” mendapatkan opsi pertama jika saham TEMPO akan dijual.
Tawaran ini harus segera dijawab sebelum pukul 8.00 esok paginya. Hari itu sudah lewat pukul 22.00. Untuk membicarakan tawaran itu, menjelang tengah malam, direksi TEMPO bertemu di rumah Goenawan Mohamad. Keputusan: tawaran Hasyim Djojohadikusumo–meskipun memberi kans bagi TEMPO untuk hidup lagi–ditolak. Lewat tengah malam keputusan ini kami sampaikan, dengan cara diplomatis, karena kami tentu saja ketakutan. Kami tahu, Prabowo Subianto-lah yang mengutus Hasyim, dan kami menafsirkan kata “keluarga” sebagai “keluarga Cendana”. (Tempo facebook)
TEMPO sadar, dengan penolakan itu, TEMPO tak akan dapat hidup lagi. Terutama, karena sebetulnya bukan pertama kalinya “pembangkangan sopan” itu kami lakukan. Kurang lebih setahun sebelum dibredel, sejumlah orang di pusat kekuasaan dengan pelbagai cara mendesak pimpinan TEMPO agar memberhentikan Fikri Jufri sebagai pemimpin redaksi, setelah Goenawan Mohamad pada 1993 tak lagi duduk dalam jabatan itu. Fikri Jufri rupanya dianggap bagian dari kegiatan “anti-Soeharto”. Desakan itu kami tolak. Kami anggap itu awal intervensi kekuasaan ke ruang kerja kami. Penolakan itu mempertajam ketegangan hubungan antara TEMPO dan penguasa–sampai konflik terbuka terjadi ketika majalah ini ditutup.(Tempo Facebook)
Walau tak pernah jelas, diduga berita pembelian kapal Jerman adalah pemicu pembredelan TEMPO. PERTANYAAN yang paling sulit kami jawab empat tahun ini: berita mana yang membuat TEMPO dibredel? Surat bredel dari Departemen Penerangan, tanggal 21 Juni 1994, tidak menunjuk dengan jelas alasan pemberangusan ini. Hanya disebutkan, “Isi beberapa penerbitan TEMPO tidak lagi mencerminkan kehidupan pers yang sehat, bebas, dan bertanggung jawab’. Juga ditambahkan, “penertiban” terhadap TEMPO diambil untuk membina dan mengembangkan pers nasional sesuai dengan UUD ’45 dan Pancasila. Juga, demi terbinanya stabilitas nasional di Republik Indonesia.
Presiden Soeharto memang marah besar ketika meresmikan pembangunan Pangkalan Utama Angkatan Laut di Teluk Ratai, Lampung, 9 Juni 1994. Dalam pidato tanpa teks yang keras, Soeharto menegaskan bahwa pembelian 39 kapal Jerman adalah idenya, bukan ide Menteri Negara Riset dan Teknologi B.J. Habibie. Soeharto juga meminta ABRI tak berkecil hati karena seolah-olah ‘tidak dipercaya dan ditinggalkan’ dalam proses pembelian kapal itu. Katanya, negosiasi yang dilakukan Soeharto dengan Kanselir Helmut Kohl memang dilakukan ‘diam-diam’ atas permintaan pemerintah Jerman.
Pers juga tak luput ‘dihujat’. Soeharto menginstruksikan dari atas geladak KRI Teluk Banten agar pers yang telah ‘mengadu domba’ dalam pemberitaan kapal itu ditindak tegas. Nah, TEMPO edisi terbaru yang beredar di Jakarta, 7 Juni 1994, memang menurunkan cover story tentang pembelian kapal itu. Tulisan utama berjudul Dihadang Ombak dan Biaya Besar mengungkapkan tarik ulur biaya pembelian kapal antara Menteri B.J. Habibie dan Menteri Keuangan Mar’ie Muhammad. Seminggu sebelumnya, TEMPO juga menurunkan tulisan berjudul Jerman Punya Kapal, Indonesia Punya Beban, yang melaporkan bahwa biaya pembelian 39 kapal itu sudah membengkak 62 kali. Kalangan pers di Jakarta percaya bahwa ‘alamat’ kemarahan Soeharto di Teluk Ratai itu adalah Majalah TEMPO.  (Tempo Facebook)

Arsip Majalah Tempo

“Tentu saja kita tidak bisa bertolak dari ilusi, bahwa begitu pers Indonesia lahir, begitu kemerdekaan langsung tersedia penuh baginya, seperti oksigen. Negeri ini tidak diahirkan dari fikiran Thomas Jefferson. Meskipun demikian, di negeri ini kemerdekaan toh tidak dicoret mati. Kita tidak dikutuk secara beramai-ramai bila kita menyatakan bahwa kita butuh kemerdekaan. Seakan ditopang oleh pengalaman sejarah yan silam dan harapan ke masa depan, kita –termasuk pemerintah –seperti sepakat meyakini bahwa bila kemerdekaan mampet, banyak hal lain akan ikut macet”. (Caping 4 Maret 1978)
Menelusuri arsip majalah tempo, seperti memasuki mesin waktu dan menjadi saksi pertama atas berbagai kejadian-kejadian yang sewaktu saya kecil terdengar sayup-sayup karena kekurang pemahaman. Peristiwa dipecatnya Jenderal Hoegeng, demonstrasi anti pembangunan Taman Mini Indonesia Indah, Malari, peristiwa petrus, (penembakan misterius), peristiwa Arswendo Atmowiloto dengan angketnya dan sebagainya.
Bila dimasa sebelum berkembangnya teknologi informasi khususnya dunia internet, membundel majalah atau mencari-cari bundel majalah menjadi salah-satu aktifitas saya dalam menggali informasi dan mendokumentasikannya, meskipun hasil bundel membundel kadang sudah hilang entah kemana. Dengan berselancar di dunia maya saya temukan informasi yang berharga khususnya arsip-arsip dari majalah tempo dari tahun ke tahun. Memang butuh kesabaran dalam membuka lembar-demi lembar arsip yang terkadang campur senewen bila koneksi inetnya lemooot, tapi usaha yang “nikreuh dikeureuyeuh” akhirnya bisa menyajikan beberapa catatan sejarah yang telah dimuat di serbasejarah. Diantaranya beberapa biografi para tokoh sejarah mulai dari M.Natsir, Dipa Nusantara Aidit, Misteri Untung, Bung Hatta dan Bung Sjahrir.
Sampai hari ini saya baru menemukan Majalah Tempo yang memberikan arsip majalahnya secara lengkap dari mulai terbit tahun 1971 sampai sekarang. Entah koran dan majalah lain saya belum coba telusuri. Hatur tararengkyu TEMPO ;) 

Sumber:http://serbasejarah.wordpress.com

2 komentar: